Hukum menghadiri
tahlilan
Pertanyaan:
Bagaimana Hukum
tahlilan 40 hari
memperingati orang
meninggal Drs. Amin
Wahyudi
Jawaban:
Assalamu `alaikum Wr.
Wb.
Bismillahirrahmanirrahiem.
Alhamdulillahi Rabbil
`Alamin. Wash-shalatu
Was-Salamu `alaa
Sayyidil Mursalin. Wa
ba`d, I. PENDAHULUAN
Dakwah mengajak
manusia kepada Allah
SWT membutuhkan sikap
lemah lembut dan tegas,
karena yang dihadapi
seorang da’I adalah
berbagai lapisan
masyarakat. Jika dakwah
dilakukan terlalu kasar,
maka mereka tidak akan
menerima dan bahkan
lari darinya. Dalam
masyarakat terjadi
beberapa kesalahan dan
kemunkaran, namun
dianggap suatu ajaran
agama, antara lain:
Upacara perkawinan,
acara tujuh bulanan,
upacara kematian, dan
lain sebagainya.
Dalam kesempatan ini
Pusat Konsultasi Syariah
ingin memberikan
penjelasan hal-hal yang
berkaitan dengan
upacara kematian,
tegasnya masalah hukum
tahlilan dan hal-hal yang
terkait dengannya
seperti :
1. Waktu pelaksanaan
tahlilan upacara
kematian.
2. Hidangan untuk para
tamu.
3. Menghadiahkan
pahala untuk orang yang
telah meninggal.
4. Solusi dan sikap
seorang da?I yang mesti
dilakukan.
II. WAKTU PELAKSANAAN
TAHLILAN
Tahlilan atau upacara
selamatan untuk orang
yang telah meninggal,
biasanya dilakukan pada
hari pertama kematian
sampai dengan hari ke-
tujuh, selanjutnya
dilakukan pada hari
ke-40, ke-100, ke-satu
tahun pertama, kedua,
ketiga dst. Dan ada juga
yang melakukan pada
hari ke-1000. Dalam
upacara dihari-hari
tersebut, keluarga si
mayyit mengundang
orang untuk membaca
beberapa ayat dan surat
Alquran, tahlil, tasbih,
tahmid, shalawat dan
do?a. Pahala bacaan
Alqur?an dan dzikir
tersebut dihadiahkan
kepada si mayyit.
Menurut penyelidikan
para ahli, upacara
tersebut diadopsi oleh
para da?I terdahulu dari
upacara kepercayaan
Animisme, agama Budha
dan Hindu.
Menurut kepercayaan
Animisme, Hinduisme dan
Budhisme bila seseorang
meninggal dunia maka
ruhnya akan datang
kerumah pada malam
hari mengunjungi
keluarganya. Jika dalam
rumah tadi tidak ada
orang ramai yang
berkumpul-kumpul dan
mengadakan upacara-
upacara sesaji, seperti
membakar kemenyan,
dan sesaji terhadap yang
ghaib atau ruh-ruh ghaib,
maka ruh orang mati
tadi akan marah dan
masuk(sumerup) ke
dalam jasad orang yang
masih hidup dari
keluarga si mati. Maka
untuk itu semalaman
para tetangga dan
kawan-kawan atau
masyarakat tidak tidur,
membaca mantera-
mantera atau sekedar
kumpul-kumpul. Hal
semacam itu dilakukan
pada malam pertama
kemtian, selanjutnya
malam ketiga, ketujuh,
ke-100, satu tahun, dua
tahun dan malam
ke-1000. Setelah orang-
orang yang mempunyai
kepercayaan tersebut
masuk Islam, mereka
tetap melakukan
upacara-upacara
tersebut.
Sebagai langkah awal,
para da?I terdahulu tidak
memberantasnya, tetapi
mengalihkan dari
upacara yang bersifat
Hindu dan Budha itu
menjadi upacara yang
bernafaskan Islam. Sesaji
diganti dengan nasi dan
lauk-pauk untuk
shodaqoh. Mantera-
mantera digantika
dengan dzikir, do?a dan
bacaan-bacaan Alqur?an.
Upacara semacam ini
kemudian dianamakan
Tahlilan yang sekarang
telah membudaya pada
sebagian besar
masyarakat.
III. MENYEDIAKAN
MAKANAN
Dalam acara Tahlilan ,
keluarga mayyit biasanya
menyediakan makanan
untuk orang-orang yang
datang pada upacara
tersebut sebagai
sedekah. Padahal Nabi
Muhammad SAW
memerintahkan supaya
para tetangga memberi
atau menyediakan
makanan kepada
keluarga mayyit. Para
tetangga, sanak famili,
dan handai tolan supaya
datang ikut bela
sungkawa dengan
membawa sesuatu untuk
penyelenggaraan jenazah
atau membawa makanan
untuk keluarga yang
dilanda musibah.
Rasulullah SAW bersabda
berkata Abdullah bin
Ja’far tatkala datang
khabar bahwa Ja’far
telah terbunuh,
Rasulullah SAW
bersabda:? Bikinkanlah
makanan untuk keluarga
Ja’far karena telah
datang kepada mereka
hal yang menyibukkan
mereka?(HR Asy-Syafi?I
dan Ahmad). Jadi yang
menyediakan makanan
adalah tetangga untuk
keluarga yang kena
musibah kematian,
bukan yang terkena
musibah menyediakan
makanan buat orang
yang datang.
Dan hadits lain
menerangkan bahwa
menghidangkan
makanan dalam upacara
kematian adalah
termasuk meratap yang
dilarang oleh agama
sebagaimana hadits yang
diriwayatkan imam
Ahmad dari Jabir bin
Abdullah Al Bajali dengan
sanad yang shohih:
Adalah kami (para
sahabat) menganggap
bahwa berkumpul di
rumah ahli mayyit dan
mereka menyediakan
makanan sesudah mayyit
dimakamkan adalah
termasuk perbuatan
meratap. Riwayat lain
menerangkan: Bahwa
Jarir datang kepada
Umar ra, lalu Umar
bertanya:? Adakah
mayyit kalian diratapi ?
Dia menjawab: Tidak,
lalu bertanya juga:
Adakah orang-orang
berkumpul di keluarga
mayyit dan membuat
makanan ? Dia
menjawab:ya, maka
Umar berkata:? Yang
demikian adalah
ratapan?. (Al Mugni Ibnu
Qudamah zuz 2 hal 43).
Diterangkan dalam
kitab ?Ianatu Thalibin
jilid 2 hal 145-146 , bahwa
fatwa-fatwa dari mufti-
mufti Mekah dari 4
Madzhab menerangkan
bahwa perbuatan
perbuatan itu adalah
munkar:
1. Sayyid Ahmad Zaini
Dahlan mufti Madzhab
Syafi?i: Ya, perbuatan
yang dilakukan oleh
beberapa orang
berkumpul dirumah
orang yang kena musibah
kematian dan
menyediakan makanan
adalah perbuatan bid?ah
munkarah dan penguasa
yang mencegahnya akan
mendapatkan pahala?.
selenjut nya